Pelaksanaan penyambungan pipa gas ke pembangkit listrik PT. PLN (Persero) di Tanjung Priok dan Muara Karang telah membuat Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan surat yang berisi himbauan untuk menghemat pemakaian energi di kantor-kantor Pemerintah dengan cara mematikan lampu yang tidak diperlukan. Seandainya penghematan energi minimal 50 Watt per pelanggan tidak tercapai, maka untuk mengatasi defisit pasokan listrik PT. PLN terpaksa mengambil langkah pemadaman bergilir di seluruh Jawa dan Bali
secara merata. Jika kondisi tersebut menjadi kenyataan, itu berarti suatu kemunduran besar yang memaksa kita kembali ke zaman byar pet belasan tahun lalu. Kondisi ini berpotensi memperburuk iklim investasi yang justru sedang mati-matian diperjuangkan oleh pemerintahan baru di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang telah dilakukan antara lain melalui penyelenggaraan Infrastructure Summit maupun Road Show ke Eropa dan Amerika Serikat.
Seperti disampaikan Dirut PT. PLN Eddie Widiono, kondisi terparah diperkirakan akan terjadi pada hari Kamis (26/5) dan Jum'at (27/5) yang diperkirakan mengalami defisit sekitar 385 MW (Suara Pembaruan, 26/5/05). Sungguh disayangkan PT. PLN tidak mampu menjaga margin yang aman pada saat beban puncak untuk wilayah Jawa-Bali selama bulan Mei dan Juni 2005. Defisit pasokan listrik ini diperburuk pula oleh lemahnya kemampuan PLN dalam menyinkronkan jadwal perbaikan dan pemeliharaan beberapa pembangkit besar dengan jadwal pemasangan pipa gas serta banyaknya industri yang beralih kepada sambungan PLN setelah terjadinya kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu.
Memahami kelemahan PLN di atas serta belum berhasilnya pemerintah mendorong masyarakat secara maksimal untuk menggunakan sumber-sumber energi alternatif seperti angin, gas, sel surya, panas bumi, ataupun jenis energi baru dan terbarukan lainnya, maka sudah sepatutnya pula masyarakat dihimbau untuk berpartisipasi seperti isi surat Sekjen ESDM di atas. Pada akhirnya, memang pelanggan jugalah yang diharapkan untuk mengurangi pemakaian listrik pada saat beban puncak. Peran masyarakat ini telah diakui oleh General Manager Pusat Penyaluran dan Pengaturan Beban PLN yang menyatakan bahwa partisipasi masyarakat selama tiga hari telah menghemat listrik sebesar 4.200 MW atau senilai Rp 3,8 milyar (Kompas, 27/5/05).
Sementara itu, reaksi pelanggan listrik terhadap kemungkinan terjadinya pemadaman bergilir cukup beragam. Ada yang mengkhawatirkan prospek usaha mereka seperti para penjual makanan jadi, Warung Tegal (Warteg), dan restoran yang sangat bergantung kepada listrik PLN dalam menjaga kesinambungan suplai bahan makanan. Ada pula masyarakat yang mencemaskan akan matinya ikan-ikan hias mereka. Demikian pula rasa cemas pengusaha jasa
persewaan komputer, warung telekomunikasi, dan warung Internet yang khawatir akan rusaknya beberapa peralatan mereka jika terjadi pemadaman bergilir. Apapun reaksi masyarakat -mencemaskan sumber nafkah atau sekedar hobi mereka-, suatu yang pasti adalah "Societies collapse when the energy flow is suddenly impeded" seperti diuraikan oleh Jeremy Rifkin (2002) dalam bukunya "Hydrogen Economy".
Pengaruh globalisasi serta kebutuhan untuk memenuhi gaya hidup praktis telah mendorong penggunaan energi secara boros dan tidak efisien melalui penggunaan peralatan yang mengonsumsi daya besar. Mahalnya perumahan dan sulitnya transportasi telah memaksa banyak orang memilih apartemen atau mengontrak di dalam kota yang membutuhkan pendingin ruangan, mesin cuci, microwave dan lemari es berdaya besar. Peningkatan pendapatan biasanya diikuti pula oleh keinginan memperoleh hiburan di dalam rumah dengan membeli berbagai jenis peralatan hiburan seperti stereo set, DVD/VCD, komputer, dan
perangkat elektronik lainnya.
Praktek boros energi juga semakin terlihat dengan banyaknya pusat-pusat perbelanjaan (mall) dan apartemen yang cenderung tertutup rapat oleh beton-mungkin untuk alasan keamanan dan terhindar dari teror bom- sehingga konsumsi energi untuk pendingin ruangan dan pencahayaan cenderung meningkat. Parahnya lagi, sikap tidak hemat energi di Indonesia telah menjangkiti bukan hanya orang berpunya, tetapi hampir merata dari kampung hingga kota.
Fenomena Magic Jar mungkin bisa menjelaskan betapa masyarakat semakin tidak hirau dengan ketersediaan energi. Dalam "Kongres Energi Nasional" bulan November 2004 lalu di Jakarta, pernah saya sampaikan bahwa untuk hanya sekedar bisa memakan nasi panas, masyarakat kita telah memborong jutaan Magic Jar. Meski rata-rata setiap Magic Jar mengonsumsi 50 Watt, penggunanya nyaris tidak pernah mematikan pemanas nasi tersebut. Singkat kata,
kebanyakan pengguna Magic Jar memakainya 24 jam sehari. Dengan asumsi sepertiga saja dari 30 juta pelanggan PLN atau rumah tangga menggunakan satu pemanas nasi, akan memberikan angka 10 juta x 50 Watt x 24 jam = 12 Giga Watt Hour. Padahal penggunaan Magic Jar atau Rice Cooker juga bisa dihemat dengan mengatur waktu masak dan waktu bersantap, tanpa harus memanaskan semangkok nasi sepanjang hari. Magic Jar creates magic Watthour!
Memperhatikan surat edaran ESDM yang hanya menghimbau pemadaman lampu di kantor-kantor pemerintah serta masih rendahnya budaya hemat energi di kalangan masyarakat, maka sudah selayaknyalah pemerintah, PT.PLN serta seluruh pemimpin masyarakat memulai kembali upaya-upaya pemahaman pentingnya budaya hemat energi yang selama ini terlupakan. Budaya hemat energi hendaklah terpadu dan menyeluruh, mengingat banyak kantor-kantor pemerintah sekarang yang semakin dilengkapi oleh berbagai peralatan tambahan seperti televisi, radio, dan microwave. Begitu pula untuk masyarakat pengguna
listrik, budaya hemat energi sebaiknya dimulai sedini mungkin dan berkelanjutan. Semoga kita tidak kembali ke zaman gelap.
(Judul Asli: "Hemat Energi Yang Terlupakan", Oleh : Eddy Satriya)
No comments:
Post a Comment